Ada satu
kalimat yang terlintas setelah menonton Maquia: When the Promised Flower
Blooms: bahwa menjadi seorang ibu bukan hanya soal melahirkan, namun juga
merawat dengan kasih, meskipun harus merasakan sakit dalam prosesnya.
Maquia,
seorang gadis dari ras Iorph yang hidup ratusan tahun, tidak pernah berencana
untuk menjadi seorang ibu. Namun takdir menuntunnya menemukan Ariel, seorang
bayi manusia yang kehilangan orang tuanya. Dari situlah, sebuah perjalanan baru
dimulai. Ia menggendong, merawat, dan membesarkan Ariel, walaupun di dalam
hatinya ia mengerti: Ariel akan tumbuh dan dewasa, menua, lalu pada akhirnya
pergi. Sedangkan ia, Maquia, akan tetap sama—terjebak di dalam tubuh muda yang tidak
akan pernah tua.
Film ini menyadarkan
saya akan satu hal: seorang ibu tidak pernah benar-benar memiliki anaknya. Anak
hanya dititipkan untuk sementara, dan pada akhirnya dilepas pada waktunya. Tugas seorang
ibu adalah mencintai dengan sepenuh hati, menciptakan tempat untuk
bersandar, dan memberi sayap agar anaknya bisa terbang. Pengorbanan
seorang ibu tidak berarti tanpa rasa sakit, melainkan karena cintanya melebihi
dari rasa memiliki.
Dalam refleksi
pribadi, saya jadi teringat akan sosok ibu saya sendiri. Betapa seringnya saya
menuntut pengertian, tetapi jarang berhenti sejenak untuk melihat lelah di
matanya. Betapa seringnya saya merasa ibu “selalu ada”, sampai lupa bahwa
kehadirannya adalah pengorbanan yang tidak pernah diminta kembali. Seperti
Maquia, mungkin ibu saya juga pernah merasa hancur, pernah menangis dalam diam,
namun tetap memilih berdiri tegar demi anak-anaknya.
Menulis
refleksi ini membuat saya menyadari: kasih seorang ibu tidak selalu terlihat
dalam kata-kata manis atau pelukan hangat. Kadang ia hadir dalam bentuk nasihat
yang membuat kita kesal, atau dalam diam yang justru menyimpan doa. Seorang ibu
mengajarkan kita arti kesabaran, keberanian, dan keikhlasan—bahkan ketika kita
sering tidak mampu memahami maksudnya.
Akhirnya, Maquia bukan hanya sebuah film fantasi. Maquia mengingatkan kita bahwa menjadi seorang ibu bukanlah tentang berapa lama ia bisa mendampingi, melainkan tentang seberapa dalam ia bisa mencintai. Ia adalah cermin yang memantulkan betapa berharganya sosok ibu dalam hidup setiap orang. Memahami seorang ibu berarti membuka mata terhadap setiap pengorbanan kecil yang sering tak terlihat. Memaknai seorang ibu berarti menyadari bahwa keberadaannya adalah hadiah terbesar, dan mencintainya dengan sepenuh hati adalah bentuk syukur paling tulus yang bisa saya lakukan. Sebab, waktu akan terus berjalan, dan pada akhirnya yang tersisa hanyalah kenangan serta doa.
Sekian refleksi dari saya. Salam hangat.
Damar.




0 Comments